Data hujan yang dibutuhkan dalam analisis hidrologi biasanya adalah
data curah hujan rerata dari daerah yang bersangkutan. Secara teoritis, semakin
tinggi kerapatan jaringan, data yang diperoleh semakin baik dan mewakili, tetapi
pada prakteknya akan membutuhkan biaya dan waktu yang besar. Sehingga para
hidrogiwan diharapkan mampu menentukan suatu jaringan stasiun hujan yang dapat
mewakili daerah yang diteliti (maupun daerah yang akan dibangun stasiun
hujannya).
Banyak metoda dan
prosedur yang ditawarkan dalam penentuan jaringan stasiun hujan, tetapi di
Indonesia belum ditetapakan metoda yang baku. Praktikum kali ini memperkenalkan
metoda yang ada. Badan meteorology dunia memberikan sarannya mengenai kerapatan
minimum jaringan stasiun hujan adalah satu stasiun digunakan untuk melayani
daerah seluas 100-250 km
bagi daerah
yang mempunyai topografi pegunungan di daerah tropis, dan satu stasiun untuk
melayani daerah seluas 600-900 km
untuk daerah
daratan.
Tujuan utama
setiap metode pengukuran presipitasi adalah untuk mendapatkan contoh yang
benar-bernar mewakili curah hujan di seluruh kawasan tempat pengukuran
dilakukan WMO (World Meteorological Office), 1970. Karena itu di dalam memasang
suatu penakar presipitasi harus dijamin bahwa:
a) percikan tetesan hujan ke dalam dan ke
luar penampung harus dicegah
b) kehilangan dari reservoir oleh penguapan
haruslah seminimal mungkin
c) jika ada, salju haruslah melebur.
Sistem
jaringan kerja alat penakar hujan harus direncanakan sesuai dengan keperluan
pemanfaatan data curah hujan yang akan dikumpulkan. Data hujan yang dibutuhkan
dalam analisis hidrologi biasanya adalah data curah hujan rerata dari daerah
yang bersangkutan. Secara teoritis, semakin tinggi kerapatan jaringan, data
yang didapat semakin baik dan mewakili, tetapi pada prakteknya akan membutuhkan
biaya dan waktu yang besar. Sehingga para hidrologiwan diharapkan mampu
menemukan suatu jaringan stasiun hujan yang dapat mewakili daerah yang diteliti
(maupun daerah yang akan dibangun stasiun hujannya).
Banyak metoda
dan prosedur yang ditawarkan dalam penentuan jaringan stasiun hujan, tetapi di
Indonesia belum ditetapkan metoda yang baku. Praktikum kali ini memperkenalkan
beberapa metoda yang ada. Badan Meteorologi Dunia (WMO) memberikan sarannya
mengenai kerapatan minimum jaringan stasiun hujan adalah satu stasiun,
digunakan untuk melayani daerah seluas 100-250 km2 bagi daerah yang
mempunyai topografi pegunungan di daerah tropis, dan satu stasiun untuk melayani
daerah seluas 600-900 km2 untuk daerah daratan. Patokan ini bersifat
umum, untuk daerah dengan karakteristik iklim dan topografi tertentu dan
tergantung dari tingkat ketelitian hasil presipitasi yang dikehendaki, satu
alat penakar hujan dapat mewakili daerah dengan luas berbeda dari ketentuan
tersebut di atas.
Tingkat
ketelitian hasil pengukuran curah hujan dalam suatu sistem jaringan kerja
tergantung tidak hanya pada keseluruhan kerapatan alat-alat penakar hujan
tetapi juga pada penyebaran alat-alat penakar hujan. Ketelitian pengukuran
curah hujan tersebut di atas dapat ditingkatkan dengan cara mempertimbangkan
pola variabilitas spasial curah hujan di tempat tersebut dan menggunakan pola
variabilitas tersebut sebagai dasar penentuan jumlah dan keduduikanalat-alat
panakar hujan. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain,
alat-alat penakar hujan ditempatkan berdasarkan klasifikasi topografi,
ketinggian tempat, kemiringan lereng dan kedudukan/arah terhadap angin (aspect) (Clarke et al, 1973). Sesudah
tipe penakar hujan dipilih, maka langkah selanjutnya adalah memutuskan jumlah
minimum penakar yang dibutuhkan untuk suatu kawasan.
Metoda Wilson E. M (1974)
Wilson E. M
memberikan tabel untuk menentukan kerapatan stasiun hujan berdasarkan keluasan
dari DAS, seperti pada tabel berikut:
Jumlah Stasiun Hujan Yang
Diperlukan Untuk Ukuran DAS Dengan Luas Tertentu
Luas DAS
|
Jumlah Stasiun Hujan
|
|
Mil2
|
Km2
|
|
10
|
26
|
2
|
100
|
260
|
6
|
500
|
1300
|
12
|
10000
|
2600
|
15
|
20000
|
5200
|
20
|
30000
|
7800
|
24
|
(Wilson E. M dalam Linsley, 1994)
Varshney, (1974) dalam bukunya yang berjudul
Engineering Hydrology, memberikan usulan metoda untuk menetapkan stasiun hujan,
sebagai berikut :
Menghitung
jumlah curah hujan total dari keseluruhan stasiun (Pt)
Pt = P1 + P2 + …+ Pn
dimana :
P1 = curah hujan di stasiun ke-1
P2 = curah hujan di stasiun ke-2
Pn = curah huajn di stasiun ke-n
Menghitung hujan
rata-rata DAS (Pm)
Dimana :
n = banyaknya stasiun hujan
Menghitung
jumlah kuadrat curah hujan semua stasiun (Ss)
Ss = P12 +
P22 + …+ Pn2
Menhitung
varians (S2)
Menghitung
koefisien variasi (Cv)
Menghitung jumlah stasiun hujan optimum (N) dengan
persentase kesalahan yang
diterapkan (p)
Stasiun hujan yang harus dipasang lagi adalah
sebanyak (N-n)
Sementara itu, Sofyan Dt. Majo Kayo (1988) telah mengadakan
penelitian di DAS Cimanuk dengan tujuan untuk meneliti dan memilih lokasi
stasiun hujan yang tepat serta mewakili suatu DAS.
Metode yang digunakan oleh Sofyan adalah dengan melakukan
pembagian DAS Cimanuk menjadi beberapa kelompok (zone). Kemudian dari
masing-masing zone dilakukan pemilihan stasiun hujan yang dianngap tepat serta
mewakili sehingga akhirnya secara keseluruhan dari DAS biaqsa dihasilkan
stasiun-stasiun hujan yang terpilih.
Selanjutnya Sofyan membandingkan hasil perhitungan curah
hujan rata-rata tahunan dari stasiun-stasiun yang terpilih untuk mengetahui
persentase perbedaannya dengan rumus :
dimana :
Y : persentase perbedaan /
penyimpangan relative (%)
XI : harga rata-rata curah
hujan dari stasiun yang ada (mm)
XII : harga rata-rata curah hujan tahunan dari
stasiun hujan hasil pemilihan (mm)
Bila harga Y
lebih kecil dari besar penyimpangan yang diijinkan maka pemilihan tersebut
dapat diterima.
NO
|
Jangka Pengamatan (Thn)
|
Kemungkinan Kesalahan Terhadap Pengamatan
Kerja Panjang (%)
|
1
|
1
|
+
50 sampai -40
|
2
|
3
|
+
27 sampai -24
|
3
|
5
|
+16 sampai -24
|
4
|
10
|
+
6 sampai -8
|
5
|
20
|
+
3 sampai -3
|
6
|
30
|
+
2 sampai -2
|
0 comments:
Posting Komentar